Sejarah Perkembangan Investasi Emas di Dunia
Setelah Perang Dunia I (PD I) tahun 1914-1918 dan Perang
Dunia II (PD II) tahun 1939-1945, Amerika Serikat (AS) sebagai negara pemenang
perang setelah mengalahkan Jepang yang diakhiri dengan penggunaan senjata
pemusnah massal bom atom, yang untuk pertama kalinya digunakan di sepanjang
sejarah perang dengan membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki.
Dari kemenangan tersebut negara-negara di seluruh dunia
mengakui kekuatan militer AS sebagai negara adidaya (superpower), dan
menempatkan AS menjadi pemimpin dunia yang ditakuti akan kekuatan militer dan
ekonominya.
Salah satu dampak dari PD I dan PD II adalah pada sektor
ekonomi dunia yang terlibat perang porak poranda sehingga perlu ditata ulang.
Pada Juli 1944 dibentuklah sistem Bretton Wood Agrements yang pada intinya
"Setiap mencetak dolar AS sebagai uang tunggal (unipolar currency) yang
dipergunakan sebagai alat transaksi di seluruh dunia harus dijamin dengan emas
(gold standard)". Sehingga memegang uang dolar AS sama baiknya seperti
memegang emas yang dipatok 35 per troy ounce (ozt). Selain itu, juga dibentuk
lembaga International Monetary fund (IMF) dan International Bank for
Reconstruction (IBRD) yang sekarang menjadi Bank Dunia (World Bank).
Pada 15 Agustus 1971, Presiden Richard Nixon mencabut sistem
tersebut, karena defisit akibat perang Vietnam serta besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk mempertahankan kekuatan politik dan ekonomi dengan negara
negara sekutunya dalam rangka suasana perang dingin (Cold War) dengan musuh
utamanya yaitu Uni Soviet. Semenjak itulah AS bebas mencetak uang tanpa batas
untuk memacu pertumbuhan ekonominya.
Pasca pencabutan, harga emas murni berkisar USD 35 per troy
pada tahun 1971 dan sekarang pada tahun 2011 harga telah menjadi USD 1400 per
troy yang berarti telah naik 4000 persen. Begitu pula dengan kurs mata uang
rupiah (IDR) yang melemah terhadap mata uang dolar AS dari Rp 500/USD pada
tahun 1971 dan sekarang pada 2011 berada pada kisaran Rp 9000/USD yang berarti
telah naik 1800 persen. Dalam kurun waktu 40 tahun harga emas telah naik 5800
persen. Hal ini mendorong harga emas melambung sangat tinggi dengan tingkat
kenaikan inflasi emas rata-rata per tahun mencapai 145 persen.
Pergerakan harga emas juga sangat dipengaruhi oleh faktor
gejolak geopolitik, seperti peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) pada
tahun 2001, yang membuat Presiden George W. Bush melakukan kampanye perang
terhadap terorisme dengan menyerang Afganistan pada 2001 dan Irak pada 2003.
Dan juga, hampir terjadi konflik senjata dengan Iran berkaitan dengan program
nuklir yang dapat menjadi pemicu Perang Dunia III, dimana Iran telah dikenai
sanksi resolusi ke-1 No 1737 (2006), ke-2 No 1747 (2007), dan terakhir ke-3 No
1803 (2008) oleh Dewan Keamanan PBB. Disamping itu masalah timur tengah lainnya
seperti Syria, Lebanon dan Palestina.
Tak cukup sampai di situ, gejolak Geo-Ekonomi AS pada 2008
ditandai dengan badai krisis perumahan (subprime mortgage). Akibat krisis
tersebut, ekonomi AS terus memburuk dan menyeret ekonomi dunia menuju krisis
global. Banyak bank investasi, asuransi serta perusahaan korporasi
bangkrut/kolaps seperti Citigroup, Lehman Brothers, Bear Stearns, AIG, dan
lainnya.
Keadaan tersebut memaksa Federal Reserve (FED) melalui
kebijakan moneternya memberikan dana talangan (bailout). Tak luput pula
menurunkan suku bunga terendah sepanjang sejarah, peminjaman antar bank sentral
(Swap Arrangement), dan bekerja sama dengan pemerintah memberikan aneka paket
stimulus melalui kebijakan fiskal yang diikuti serempak oleh seluruh dunia. Tak
ayal, AS bahu membahu bersama negara lainnya melakukan hal yang sama supaya
tidak terjadi kembali resesi besar (the great depression) seperti pada tahun
1930. Pilihan sulit ini menyebabkan FED dan pemerintah menerbitkan surat utang
negara (treasury bill/bond), serta mencetak uang baru untuk membayar utang
(monetizing).
Langkah-langkah atas nama penyelamatan ekonomi ini
menyebabkan index kepercayaan terhadap mata uang dolar AS semakin rendah. Pada
Maret 1973, mata uang AS berada di posisi 100 (USDX). Dan posisi terendah mata
uang negeri paman Sam tersebut terjadi pada 16 Maret 2008 yaitu pada posisi
70.6 (USDX).
Trend penurunan ini memicu rasa kekhawatiran akan terjadinya
malapetaka di sektor keuangan global (financial Armageddon) dan menyebabkan para
investor (Hedge Fund) mengalihkan aset keuangan dengan menginvestasikan di
sektor komoditas lain seperti minyak, pangan, dan emas yang harganya terus
melambung dari tahun ke tahun.
Begitu juga dengan bank-bank sentral, badan internasional,
dan pemerintah yang menyimpan sekitar 20,5 persen dari emas dunia dunia atau
sekitar 29.787 ton diperkirakan akan terus memperkuat cadangan devisa berupa
emas. Hal ini untuk melindungi pertahanan ekonominya, terutama negara China
dengan cadangan emasnya relatif kecil 1.6 persen dibanding cadangan devisa
terbesarnya berupa dolar AS yang hanya di urutan keenam dengan jumlah 1161,6
ton.
Tentunya cadangan tersebut akan terus ditingkatkan agar bisa
naik peringkat, mengalahkan AS di urutan pertama dengan jumlah cadangan emas
8.965,65 ton. Kedua adalah Jerman dengan jumlah cadangan emas 3.754,29 ton,
urutan ketiga IMF dengan jumlah cadangan emas 3.311,84 ton, keempat adalah
Italia dengan jumlah cadangan 2.701,9 ton, dan urutan kelima adalah Perancis
dengan jumlah cadangan emas 2.683,81 ton, sehingga layak disebut pemimpin baru
dunia.
Dengan persediaan (supply) emas yang terbatas dan relatif
kecil dibandingkan jumlah kapitalisasi aset keuangan global akan menjadi bom
waktu sebagai pemicu inflasi/hyperinflasi harga emas di waktu yang akan datang.
Sumber artikel: VisiMaya.Com